Contract Farming, Cooperative Farming dan Corporate Farming. 3 Istilah ini Sering Kita Dengar. Tapi Apa Beda Ketiganya ?

Contract Farming  – Salah satu masalah pertanian Indonesia adalah rendahnya produktivitas pertanian yang berefek rendahnya pendapatan petani. Akibatnya tak banyak anak muda yang mau jadi petani.

Realistis memang, selama kegiatan pertanian tidak menguntungkan dan tidak ada kesempatan tumbuh, maka tidak akan menarik bagi generasi muda untuk masuk sektor pertanian.

Bisa dibayangkan jika nanti petani yang ada sudah mulai pensiun lalu jumlahnya menurun di sisi lain petani baru tidak mengalami kenaikan.

Dalam jangka panjang, ini tentu akan mengancam ketahanan pangan Indonesia, yang dengan jumlah petani saat ini saja belum mampu memenuhi kebutuhan pangan domestik.

Contract farming, cooperative farming dan corporate farming, adalah beberapa istilah yang sering kita dengar. Ketiganya adalah konsep usahatani di era pertanian modern yang dianggap bisa meningkatkan pendapatan petani.

Yuk kita bahas ketiganya sobat belajartani.com !

Contract Farming

Contract Farming atau pertanian kontrak merupakan salah satu bentuk kemitraan antara petani dengan sebuah usaha besar yang sifatnya saling menguntungkan.

Rekomendasi :  Wow...! Tahun Baru 2017, Harga Cabai Rawit Merah Di Jakarta Tembus 100 Ribu/Kg..!

Dengan sistem ini, petani mitra mendapatkan jaminan harga dan pasar, dibanding menanam komoditas tertentu yang harga jualnya fluktuatif mengikuti harga pasar.

Sementara perusahaan mendapatkan bahan baku tertentu secara lebih mudah dan dengan biaya yang jauh lebih murah.

Sehingga perusahaan akan jauh lebih efisien karena tidak perlu biaya investasi lahan serta biaya operasional yang besar pada lahan tersebut.

Pada prakteknya, perusahaan yang bermitra dengan petani, umumnya tetap memiliki/mengelola lahan sendiri yang digunakan untuk uji coba, lahan percontohan serta cadangan strategis.

Cadangan strategis ini maksutnya sebagai antisipasi jika terjadi masalah produksi pada petani mitra, misalnya saat gagal panen.

Jadi, saat petani mitra gagal panen perusahaan masih bisa mendapatkan bahan baku (raw material). Bahkan yang paling parah saat petani mitra dibajak oleh perusahaan lain, perusahaan masih bisa mendapatkan barang.

Di sisi lain, selain untuk mendapatkan barang dengan kualitas yang baik namun dengan biaya yang lebih efisien, kemitraan bisa dilihat sebagai upaya pembagian resiko.

Pertanian yang memiliki kompleksitas masalah sangat dipengaruhi oleh faktor alam yang saat ini justru semakin susah diprediksi, serangan hama penyakit yang meningkat yang berpotensi menyebabkan gagal panen.

Rekomendasi :  Siapa Bilang Petani Muda Gak Mau Turun Sawah? Ini Buktinya

Nah, dengan pertanian kontrak, resiko kerugian akibat gagal panen bisa dibagi dengan rekan mitranya.

Dalam sebuah contract farming, petani yang boleh ikut harus memenuhi syarat tertentu misalnya memiliki lahan, tenaga kerja dan air yang memadai.

Sementara dari pihak perusahaan, harus menyediakan bimbingan teknis/pendampingan, terkadang memberikan modal awal/biaya garap, sekaligus sebagai off taker/pembeli hasil panen dari petani.

Dari sudut pandang lain, kemitraan petani dengan perusahaan memungkinkan adanya transfer teknologi, misalnya teknologi budidaya yang lebih modern.

Petani yang terbatas modal garap di awal bisa terbantu dan mungkin saja membantu mereka terlepas dari ketergantungan pada tengkulak.

Cooperative Farming dan Corporate Farming

a. Cooperative Farming

Cooperative farming atau usahatani tani kooperatif merupakan sebuah lembaga koperasi yang menggabungkan beberapa usaha individu ke dalam suatu kegiatan usahtani, tanpa mempermasalahkan batas-batas sawah dengan tujuan meningkatkan skala usaha menjadi lebih luas.

Tentu ini sangat berguna bagi petani berlahan sempit yang terkadang bingung dengan masalah pemasaran, harga, teknologi dan sarana produksi yang dibutuhkan.

Meskipun petani tergabung dalam usahatani kooperatif tidak lantas menghilangkan hak atas tanahnya. Tanah/lahan masih tetap milik petani. Asumsinya semakin luas lahan maka semakin banyak hasil yang diperoleh.

Rekomendasi :  3 Alasan Ini Yang Bikin Harga Buah Di Jepang Super Mahal

Namun demikian, dalam usahatani kooperatif ada beberapa ketentuan seperti pengelolaan usaha, penyediaan saprodi dan pemasaran hasil panen itu semua diatur oleh lembaga kooperatif petani.

b. Corporate Farming

Berbeda dengan cooperative farming, corporate farming atau usahatani korporasi segala macam halnya dikuasai sepenuhnya oleh badan usaha atau korporasi pertanian.

Jadi, usahatani korporasi ini konsepnya sudah seperti perusahaan dimana keuntungan dan hak suaranya dinilai berdasarkan besarnya saham.

Namun, baik kooperatif farming ataupun korporate farming, nilai keuntungan atau hasil usahanya dinilai seberapa besar kontribusinya kepada lembaga.

Semakin luas sawah yang dimiliki atau dikerjakan tentu akan memberikan nilai yang jauh lebih besar.

c. Kesimpulan

Sekilas konsep kooperatif farming ini sebenanrnya mirip dengan kelompok tani yang sudah berjalan. Hanya saja secara kelembagaan, kooperatif farming atau corporate farming jauh lebih baik dibanding kelompok tani.

Baik kooperatif farming atau corporate farming, biasanya bekerja sama dengan perusahaan lain dalam memasarkan hasil produksinya secara contract farming.

Jadi, tidak hanya usahatani individu saja yang bisa menggunakan konsep contract farming, namun lembaga atau organisasi juga dapat melakukan hal yang sama untuk meningkatkan pendapatan mereka.

Share, jika konten ini bermanfaat !

Artikel Terkait

About the Author: Insan Cita

Insan Cita, founder & owner BelajarTani.com - Alumnus FP - Bekerja di agriculture corp - Hobi ngeblog & berkebun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *